Tuesday, February 28, 2012

Laporan Penelitian Pengembangan: Pendidikan Anak Usia Dini

 Catatan: Makalah ini dipublikasikan di blog ini dengan tujuan untuk meningkatkan kemudahan para pendidik untuk memperolehnya dengan lebih banyak terindeks pada search engine. Makalah ini sepenuhnya bukan milik saya. Bila Anda pemilik makalah ini dan merasa bahwa tidak semestinya makalah ini diterbitkan di http://penelitiantindakankelas.blogspot.com, silakan menghubungi saya di sini, maka dengan senang hati saya akan menghapus konten ini. Terimakasih (admin).

MODEL PENDIDIKAN BERWAWASAN KEBANGSAAN BAGI ANAK USIA DINI SEBAGAI SARANA INTEGRASI BANGSA

L. Andriani Purwastuti, Ariefa Efianingrum
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta

Abstract

The aim of this research was to develop a model of civics education for early childhood as a means of national integration, based on the kindergarten curriculum and early childhood psychology. The curriculum
has been designed by using local material especially coastal area potentials. The syudy was conducted by using the research and development approach/design. Data collection was done by a survey procedure in 14 kindergartens in Yogyakarta Province; namely 5 kindergartens from Kulonprogo District, 4 kindergartens from Bantul District, and 5 kindergartens from Gunungkidul District. Initial results indicated that the curriculum that is currently used in kindergarten is the Competency-based Curriculum (CBC). Several teachers reported a lack in the educative plays at school. Teachers reported their realization that the local potentials as natural resources at the coastal area have not been used optimallty. Civic education in in the curriculum was limited to integration in the “Tanah Air” theme. This study was able to develop a civic eduvation model with the integrative thema of Daily Scenario (SKH) for early childhood education. The study resulted in 3 books: 1) Integrative-Thematic Learning Design, 2) Integrative Thematic Learning
Guidance, and 3) Resources Plays for Thematic Integrative Learning by Using Natural Resources and Local Material. The books were reviewed and validated by experts in early childhood education and experts in
teaching-learning media.

Key words: learning model, civics education, early childhood education, local content, coastal area

Pendahuluan
Berdasarkan sudut pandang medis-neurologis, psikososiokultural, dan edukatif, pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan hal yang sangat esensial.PAUD sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan struktur dan fungsi otak anaksehingga dapat memberikan pengaruh yang menetap terhadap perkembangan perilaku dan kepribadian anak selanjutnya. Perkembangan anak usia dini telah memberikan berbagai informasi mengenai masa kanak-kanak sebagai salah satu tahap perkembangan manusia yang memiliki karakteristik tersendiri. Pendidikan yang berorientasi kepada perkembangan memungkinkan pendidik untuk merencanakan berbagai pengalaman yang dapat menumbuhkan minat anak usia dini dan merangsang keingintahuan mereka. PAUD adalah investasi yang sangat besar bagi keluarga dan juga bangsa. Merekalah yang kelak membangun bangsa supaya tidak tertinggal dari bangsa-bangsa lain (Suyanto, 2005:2).

Anak usia dini (early childhood) yang bnerusia antara 0-8 tahun merupakan usia emas (golden age) sehingga mereka sangat tepat jika dijadikan komunitas awal pembentukan karakter bangsa. Para ahli menyimpulkan bahwa keberhasilan pada masa ini akan menentukan masa depan anak itu sendiri. Implikasinya, keberhasilan
ini tentunya akan berdampak pada masa depan bangsa.

Pendidikan berwawasan kebangsaan pada anak usia dini diharapkan dapat mempersiapkan mereka kelak sebagai manusia-manusia yang mempunyai identitas di dalam masyarakat lokalnya sekaligus mempunyai visi global untuk membangun dunia bersama dalam budaya global. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah pendidikan wawasan kebangsaan dapat diberikan untuk anak usia dini?

Bruner menyatakan bahwa setiap materi dapat diajarkan kepada setiap kelompok umur dengan cara-cara yang sesuai dengan perkembangannya. Pada anak usia dini, kunci cara-cara yang paling sesuai adalah merlalui berbagai permainan. Permainan merupakan kata kunci pada pendidikan anak usia dini. Permainan anak sebenarnya mengacu pada kebersamaan, gotong royong, berteman, dan mengurangi rasa egois anak. Kemunculannya akan tampak pada saat mereka bermain yang selalu memerlukan “partner”, walaupun dalam partner tersebut bisa jadi mereka bersaing. Lebih-lebih pada permainan tradisional, sifat kebersamaan ini menjadi sesuatu yang paling diutamakan. Tanpa kebersamaan, permainan tradisional tidak akan pernah terjadi. Berbeda halnya dengan permainan dalam bentuk digital yang lebih bersifat individu, seperti play station. Mereka cukup sendirian berhadapan dengan komputer atau sejenisnya. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan alat permainan yang mampu membangun “pertemanan”, di antara anak-anak sehingga proses humanisasi anak-anak terbangun dengan baik dan sekaligus juga sebagai proses pengembangan wawasan kebangsaan.

Pendidikan wawasan kebangsaan bagi anak usia dini saat ini mendapat saingan yang berat, yakni berupa alat permainan yang datangnya dari negara lain. Anak-anak selama ini bermain dengan robot, boneka-boneka bule, dan rumah bergaya Eropa. Akibatnya, ia akan membangun konsep diri tentang robot, manusia, dan rumah dari alat permainan tersebut. Tanpa disadari, ia menjadi mengidentifikasi diri derngan pahlawan-pahlawan robot dari luar, orang bule dan rumah bergaya Eropa. Anak yang suka mainan Spiderman, Spongebob, atau Barbie akan mengoleksi dan menggunakan............Baca selengkapnya makalah ini dari sumber aslinya.

Sunday, February 26, 2012

Pengajaran Timbal Balik (Reciprocal Teaching): Prosedur harian

Pada tulisan sebelumnya telah dibahas apa yang dimaksudkan pengajaran timbal balik (reciprocal teaching), yaitu sebuah pengajaran yang dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap bahan bacaan yang sedang dibacanya melalui belajar dalam kelompok-kelompok kecil. Nah, adapun prosedur harian untuk Pengajaran Timbal Balik (Reciprocal Teaching) adalah sebagai berikut:

  1. Bagikan bacaan untuk hari itu.
  2. Jelaskan bahwa anda (si guru) akan menjadi "guru" untuk bagian pertama.
  3. Perintahkan siswa membaca dalam hati bagian manapun dari bacaan itu, akan tetapi paling mudah jika anda tentukan secara tepat, misalnya alinea pertama.
  4. Setelah setiap orang menyelesaikan bagian pertama, berikanlah contoh berikut:"Pertanyaan yang saya pikirkan, yang mungkin diajukan oleh guru adalah........" Mintalah siswa menjawab pertanyaan anda. Mereka dapat merujuk pada buku teks kalau perlu. "Saya akan meringkaskan informasi terpenting dalam alinea ini dengan cara berikut........." "Dari judul bacaan tersebut, saya memperkirakan bahwa penulis selanjutnya akan membahas...."
  5. Mintalah siswa memberikan komentar tentang pengajaran anda dalam bacaan tersebut. Misalnya: "Apakah ada informasi yang lebih penting." "Apakah ada orang yang mempunyai hal lain lagi untuk ditambahkan pada perkiraan saya?""Apakah ada orang yang menemukan sesuatu yang lain yang membingungkan selain yang saya bingungkan tadi?"
  6. Tugaskanlah bagian berikutnya untuk dibaca dalam hati. Pilihlah siswa untuk bertindak sebagai guru pada bagian ini. Mulailah dengan siswa yang lebih pandai berbicara dan yang anda pikir akan mengalami hanya sedikit kesulitan dengan kegiatan tersebut.
  7. Latihlah "guru" siswa tersebut melalui kegiatan tersebut kalau perlu. Doronglah siswa lain untuk berpartisipasi dalam dialog tersebut, tetapi selalu berikan kesempatan pertama kepada "guru" siswa tersebut untuk bicara. Pastikan untuk selalu memberikan umpan balik dan pujian kepada seluruh siswa atas partisipasi mereka.
  8. Setelah hari-hari latihan tersebut berlalu, cobalah makin menjauhkan diri dari dialog tersebut  sehingga "guru" siswa tadi memprakarsai sendiri kegiatan tersebut dan siswa lain memberikan umpan balik. Peran guru akan terus sebagai pemantau, mempertahankan siswa pada jalur yang tepat, dan membantu mereka bila menghadapi kesulitan. Namun, setidaknya, tetaplah anda memegang peran sebagai "guru" tersebut paling tidak saatu kali untuk setiap pertemuan.
Strategi  Alternatif yang lain untuk mengajar membaca (pemahaman terhadap bacaan): Strategi Questioning The Author (mempertanyakan penulis).

Pengajaran Timbal Balik (Reciprocal Teaching)

Selain menggunakan strategi questioning the author (mempertanyakan penulis), pelajaran untuk mengajar membaca dapat pula dilakukan dengan pengajaran timbal balik (reciprocal teaching). Pendekatan pengajaran timbal balik dapat digunakan kepada siswa yang mempunyai pemahaman rendah dalam membaca, baik pada sekolah dasar maupun pada sekolah lanjutan. Pada pengajaran timbal balik guru bekerja sama dengan kelompok-kelompok kecil siswa.

Pada pengajaran ini, guru mula-mula memberikan contoh pertanyaan yang dapat diajukan oleh siswa ketika mereka membaca, selanjutnya siswa ditunjuk sebagai "guru" untuk merumuskan pertanyaan satu sama lain. Dalam mengajarkan pengajaran timbal balik, guru dapat mulai dengan kata-kata misalnya sebagai berikut: "untuk minggu-minggu yang akan datang, kita akan bekerja sama untuk meningkatkan kemampuan kalian memahami apa yang sedang dibaca. Kadang-kadang kita begitu sibuk  memikirkan apa kata tersebut sehingga kita tidak berhasil memperhatikan apa arti kata dan kalimat yang kita baca tersebut. Kita akan mempelajari cara agar perhatian kita lebih banyak pada pemahaman. Saya akan mengajarkan hal-hal berikut saat kalian membaca":
  1. memikirkan pertanyaan-pertanyaan penting yang mungkin diajukan tentang apa yang sedang dibaca dan memastikan bahwa kalian dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
  2. meringkaskan informasi terpenting yang telah kalian baca.
  3. memperkirakan apa yang mungkin dibahas berikutnya dalam bacaan tersebut.
  4. menunjukkan kapan sesuatu tidak jelas dalam bacaan, atau apa yang tidak dipahami, dan kemudian melihat apakah kita dapat memahaminya.

Kegiatan membaca melalui pendekatan konstruktivis dengan pengajaran terbalik (reciprocal teaching) akan membantu siswa memusatkan perhatian pada apa yang sedang dibaca dan memastikan bahwa siswa memahaminya.

Cara siswa mempelajari ke-4 kegiatan di atas adalah dengan bergiliran peran sebagai guru. Guru mula-mula mencontohkan cara membaca dengan seksama, dengan memberitahukan kepada siswa pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskannya sambil membaca, kemudian meringkaskan informasi terpenting yang telah ia baca, dan selanjutnya memperkirakan apa yang mungkin akan dibahas pada bacaan selanjutnya. Guru juga harus memberitahukan apabila ada sesuatu yang membingungkannya saat sedang membaca, dan bagaimana cara memahaminya.

Prosedur Harian dalam melaksanakan Pengajaran Timbal Balik (Reciprocal Teaching) baca di sini.

Laporan Penelitian Pengembangan: Model Pembelajaran Jasmani Anak Tunagrahita

 Catatan: Makalah ini dipublikasikan di blog ini dengan tujuan untuk meningkatkan kemudahan para pendidik untuk memperolehnya dengan lebih banyak terindeks pada search engine. Makalah ini sepenuhnya bukan milik saya. Bila Anda pemilik makalah ini dan merasa bahwa tidak semestinya makalah ini diterbitkan di http://penelitiantindakankelas.blogspot.com, silakan menghubungi saya di sini, maka dengan senang hati saya akan menghapus konten ini. Terimakasih (admin).

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN JASMANI ADAPTIF UNTUK OPTIMALISASI OTAK ANAK TUNAGRAHITA

Sumaryanti, Wara Kushartanti, Rachmah Laksmi Ambardhini
Jurusan Pendidikan dan Kesehatan Rekreasi, FIK Universitas Negeri Yogyakarta
e-mail: sumaryanti@uny.ac.id

Abstract
The purpose of this study is to set adapted physical learning model for optimize mental retarded brain. This objectives achieved in two stages, for two years.Research and Development approach are applied in this research in two stages. Phase I conducted literature review and field observations. Data that obtained in this phase are analyzed and are usedto set a draf of adapted physical learning model to optimize mental retarded brain. The result of Phase I (2009) includes the literature review about the characteristics of mental retarded children, the motion effects on the brain, gestures to the brain. Field observation that carried out in this phase obtain that motor skill of mental retarded child are good running, lack of balance, less category in cognitive abilities. The ability to read, write, and arithmetic are in moderate category. Affective abilities in self-control is in moderate category, but the empathy and cooperation into well category. Psychomotor ability to perform activities of daily life in the good category. The model of motion exercises and songs combined with circuit activities to optimize the mental retarded brain. The entire 40-minute duration of learning, with 9 minutes of the first and last songs of the motion and shape of gymnastics and the remaining circuit events consisting of 6 stations that include trampoline, crawling, climbing beam bridges, rolling over, facedown on the medicine ball, and crawling in the aisle.

Keywords: adapted physical learning model, optimization of brain, mental retarded

Pendahuluan
Kurikulum Pembelajaran Jasmani Adaptif di sekolah luar biasa masih difokuskan pada kebugaran jasmani dan kesehatan secara umum, yaitu daya tahan jantung, paru, kekuatan dan daya tahan otot, fleksibilitas, serta kemampuan motorik. Otak sebagai pengatur fungsi fisik dan emosi belum disentuh secara khusus. Padahal dengan stimulasi otak yang terprogram dapat meningkatkan fungsikognitif dan emosi (Praag and Gage, 1999). Seperti diketahui, anak tunagrahita mengalami gangguan fungsi kognitif dan emosi. Dari gambaran tersebut, perlu disusun model pembelajaran jasmani adaptif yang memfokuskan pada stimulasi otak yang masih bisa diintervensi. Dengan stimulasi tersebut, fungsi otak yang tersisa akan bekerja secara optimal dan kebugaran jasmani dan kesehatan tetap akan tercapai.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tenaga pengajar Jasmani Adaptif di Yogyakarta 94% berlatar belakang bukan dari Pendidikan Jasmani, sehingga mengalami banyak kendala sewaktu melaksanakan pembelajaran. Kondisi tersebut perlu diatasi segera dengan adanya tuntunan yang mudah dalam bentuk CD dan Buku Panduan. Kelebihan dari bentuk CD yang bersifat audiovisual adalah contoh yang langsung bisa dilihat berulang-ulang sehingga mempermudah pembelajaran. Buku Panduan memungkinkan penjelasan yang lebih rinci termasuk konsep yang melatarbelakangi model pembelajaran tersebut. CD dan Buku Panduan yang disusun perlu divalidasi dan diuji coba sebelum disebarluaskan dan diaplikasikan.

Baca makalah ini selengkapnya langsung dari sumber aslinya.

Saturday, February 25, 2012

Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)

Pembelajaran penemuan merupakan salah satu model pembelajaran yang digunakan dalam pendekatan konstruktivis modern. Pada pembelajaran penemuan, siswa didorong untuk terutama belajar sendiri melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Guru mendorong siswaagar mempunyai pengalaman dan melakukan eksperimen dengan memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip atau konsep-konsep bagi diri mereka sendiri.

Pembelajaran penemuan memliki beberapa kelebihan. Pembelajaran penemuan membangkitkan keingintahuan siswa, memotivasi siswa untuk terus bekerja hingga menemukan jawaban. Siswa melalui pembelajaran penemuan mempunyai kesempatan untuk berlatih menyelesaikan soal, mempertajam berpikir kritis secara mandiri, karena mereka harus menganalisa dan memanipulasi informasi.

Pembelajaran penemuan juga mempunyai beberapa kelemahan, di antaranya dapat menghasilkan kesalahan dan membuang-buang waktu. Karena itu, pembelajaran penemuan terpimpin (guided discovery learning) lebih banyak digunakan dibanding pembelajaran penemuan murni. Dalam pembelajaran penemuan terpimpin atau penemuan terbimbing, guru memainkan peran yang lebih aktif dibanding pembelajaran penemuan terbimbing murni. Guru dapat memberikan petunjuk, menata bagian-bagian suatu kegiatan, atau memberikan sebuah garis besar.

Thursday, February 23, 2012

Laporan PTK: Pendekatan Realistik Matematika SD


Catatan: Makalah ini dipublikasikan di blog ini dengan tujuan untuk meningkatkan kemudahan para pendidik untuk memperolehnya dengan lebih banyak terindeks pada search engine. Makalah ini sepenuhnya bukan milik saya. Bila Anda pemilik makalah ini dan merasa bahwa tidak semestinya makalah ini diterbitkan di http://penelitiantindakankelas.blogspot.com, silakan menghubungi saya di sini, maka dengan senang hati saya akan menghapus konten ini. Terimakasih (admin).

PENINGKATAN PEMAHAMAN RUMUS GEOMETRI MELALUI  PENDEKATAN REALISTIK DI SEKOLAH DASAR

Oleh: P. Sarjiman
FIP Universitas Negeri Yogyakarta

Abstract
The classroom action research was carried out in order to : (1) make students easier in understanding geometrical formulas; (2) raise the students’ achievement about geometrical formula understanding and its application especially in the case of plane area. : (3) motivate the students to understand geometrical formulas; and (4) make the teaching-learning of understanding geometrical formulas would be more effective.
The research was carried out at the fith grade of state elementary school called Terbantaman II in Depok Sleman Yogyakarta. The Re-search was carried out in three cycles with each sycle consisting of planning, actuating , observing and reflecting. The research data were collected by instruments namely the achievement test, observation and interview. Quantitative data were analysed by descriptive statistics; that was by searching for the mean and by a test of difference, where as qualitative data were analysed by an interpretative descriptive.
The research finding showed that the teaching of the plane area formulas of rectangulars and triangles by realistic approach could raise the students’ eagerness and motivation in learning , understanding as well as applying the plane area. It could be concluded that the teaching method applied could raise students’ achievement in learning the plane area formula especially rectangulars and triangels. In othe words, the teaching of geometrical formulas by realistic approach could raise the students’ understanding about geometrical formulas.

Key words: Understanding geometrical formulas, realistic approach, and the elementary school.

Pendahuluan
Geometri SD sangat aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Pembuatan berbagai bentuk mebel dari yang sederhana sampai yang mewah, sudah menggunakan istilah segiempat, segitiga, kubus, balok dan bentuk geometris yang lain. Demikian pula berbagai bentuk konblok ada yang berbentuk persegipanjang, segienam dan tiruan bentuk geometris lainnya. Dengan demikian, penguasaan geome-tri, walaupun setingkat SD, sangat bermanfaat untuk mengolah hasil kekayaan sumberdaya alam setempat di mana siswa SD berdomisili. Dengan penguasaan geometri yang baik, selain siswa memiliki bekal yang cukup untuk melanjutkan studi lebih lanjut, siswa yang terpaksa putus sekolah pun mereka dapat mengaplikasikan geometri SD untuk mengolah sumber daya alam setempat untuk dijadikan barang/ko-moditi yang laku dipasarkan. Masyarakat kuna pun telah memanfaatkan geometri dalam kehidupan sehari-hari mereka seperti yang dikemuka-kan oleh Travers dkk. (1987:42) seperti berikut ini.
As long ago as 3000 BC, the Summerians used Geometry to build temples, the Early Egyptians used it to compute the amount of grain they could store in a bin of a given size and shape.
Sesuai dengan kegunaan praktisnya semula, istilah geometri mem-punyai arti harfiah pengukuran bumi. Pada waktu itu, geometri sangat bermanfaat secara praktis seperti untuk mengetahui luas, volume (bangsa Babilonia), sedangkan bangsa Mesir kuna memanfaatkannya antara lain untuk membangun piramida. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Marvin Jay Green Berg (1980), bahwa “The word geometry comes from the Greek geometria ( geo: earth and metrein: to measure), ge-ometry was originally the science of measuring land.” Geometri pada bidang datar dan pada luas daerah segiempat pada khususnya dipakai untuk mengukur tanah di sepanjang sungai NIL.
Van de Walle (1994:35) mengungkap lima alasan mengapa geome-tri sangat penting untuk dipelajari. Pertama, geometri membantu ma-nusia memiliki apresiasi yang utuh tentang dunianya, geometri dapat dijumpai dalam system tata surya, formasi geologi, kristal, tumbuhan dan tanaman, binatang sampai pada karya seni arsitektur dan hasil kerja mesin. Kedua, eksplorasi geometrik dapat membantu mengembang-kan keterampilan pemecahan masalah. Ketiga, geometri memainkan peranan utama dalam bidang matematika lainnya. Keempat, geometri digunakan oleh banyak orang dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kelima, geometri penuh dengan tantangan dan menarik.
Kemampuan rancang bangun dan rekayasa ( engineering ) bangsa Indonesia pada masa mendatang sangat ditentukan oleh kualitas pengu­ asaan geometri siswa SD saat ini. Di samping itu, jika sejak kecil siswa sudah dibiasakan dengan bentuk-bentuk bangun geometri baik pada aneka ragam permainan maupun pada bentuk-bentuk barang dan ba­ ngunan­ sehari-hari, mereka akan cepat mengenal lingkungan di tempat ia tinggal sehingga dapat mengembangkan dan mengkreasi gagasan-gagasan baru. Salah satu kriteria orang yang terpelajar dan terdidik pada zaman Yunani kuna adalah bahwa ia harus memunyai apresiasi terhadap matematika khususnya geometri (Hendra, 1997).
Mengingat pentingnya penguasaan geometri bagi siswa SD, peneliti sangat prihatin mendengar keluhan guru SD yang mengatakan bahwa pemahaman geometri anak dewasa ini lemah, walaupun sudah dibim­ bing dengan susah payah. Keluhan ini didengar peneliti, ketika berada di SD membimbing mahasiswa PPL. Hasil penelitian Sarjiman (2001) tentang penguasaan matematika SD dari mahasiswa PGSD Prajabatan, menunjukkan bahwa geometri termasuk materi yang sulit untuk dikua-sai setelah pecahan dan soal matematika bentuk cerita. Rusgianto at al (1990) yang melaksanakan penelitian terhadap kesalahan-kesalahan konsep matematika guru-guru SD memperoleh kesimpulan bahwa 51,58% guru yang diteliti melakukan kesalahan pada kelompok aljabar, 59,42%, pada kelompok geomerti 49,7 % dan pada kelompok aritmetika.
Banyak orang tua mengeluhkan bahwa jika anak SD dihadapkan pada barang yang nyata dalam hal hitung menghitung keliling, luas, dan volume masih bingung (Kedaulatan Rakyat, Maret 1997). Dengan demikian, pembelajaran geometri di SD memang perlu diperhatikan agar siswa tidak mengalami kesulitan dalam menghadapi persoalan geometri di dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan rasionalitas permasalahan di atas, yang menjadi pem-bahasan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah (1) apakah dengan pendekatan realistik mampu memotivasi siswa dalam memahami rumus luas daerah segiempat dan segitiga?, (2) apakah dengan pendekatan rea­ listik siswa mampu menemukan rumus sendiri, setelah melalui proses dan (3) apakah pemahaman siswa benar-benar meningkat? Ada pun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan bagaimana pembelajaran dengan pendekatan realistik mampu memoti-vasi siswa dalam memahami rumus luas daerah segiempat dan segitiga;

(2) medeskripsikan bagaimana siswa menemukan rumus sendiri dengan memanipulasi benda konkret; (3) mendeskripsikan ada tidaknya pening­ katan pemahaman siswa tentang rumus bangun datar tersebut.

Beberapa ahli pendidikan mengemukakan pandangannya tentang pemahaman konsep geometri di tingkat SD. Jean Piaget, misalnya, mengemukakan bahwa yang pertama dikenal oleh anak adalah bentuk bentuk topologis (Copeland, 1974:210). Dalam pandangan anak manu-sia dan objek-objek lain bukanlah sesuatu yang tetap dan tidak berubah tetapi berganti-ganti tergantung dari mana dia memandang. Dengan kata lain, pandangan anak pada dunia sekitarnya adalah pandangan topologis. Secara topologis, suatu bangun tidaklah harus berbentuk permukaan kaku dan tetap sebagaimana dalam geometri Euclides.
Menurut teori perkembangan intelektual Piaget, anak SD berada pada periode operasional konkret. Selama usia SD, berpikir anak tentang matematika, khususnya geometri, masih mendasarkan benda-konkret dan situasi nyata. Anak SD pada kelas rendah belajar geometri dengan berpikir informal; meraba dan menduga-duga. Anak-anak pada kelas yang lebih tinggi, memiliki kemampuan untuk bernalar lebih abstrak, tetapi masih tergantung pada penyajian konkret dari topik geometri yang dipelajarinya. Periode operasional konkret, ditandai oleh kemampuan berpikir logis, mengorganisasikan pikirannya agar menyatu, memandang struktur secara total, dan menyusun semuanya itu dalam hubungan- hubungan yang hirarkhis. Dalam mempelajari geometri, Van Hiele (dalam Crowley Marry L. 1987) berpendapat bahwa pemikiran geometri anak memiliki beberapa tingkatan, yakni: (1) visual (siswa mengidentifikasi konfigurasi geometri sebagai keseluruhan yang tampak), (2) analisis deskriptif (siswa mengenali ciri-ciri bentuk geometris), (3) abstrak rasional (siswa mampu menyusun definisi abstrak), (4) deduksi (siswa mampu menyusun bukti), dan (5) rigor (geometri diterima sebagai suatu system yang abstrak).
Pembelajaran geometri di SD sekurang-kurangnya harus menca-pai tingkat analisis menurut versi Van Hiele, tingkat ini seyogyanya memberikan kesempatan kepada anak untuk mengukur, menggunting, melipat, memodel, mewarna dan mengubin untuk mengidentifikasi sifat-­sifat bangun, menurunkan ‘rumus’ secara empirik dan generalisasi. Serta mengkontraskan kelas-kelas bangun yang berbeda.
Realistic Mathematics Education atau pendidikan matematika dengan pendekatan realistik adalah bahwa pembelajaran matematika dipandang sebuah kegiatan dan bukan sebagai hasil yang siap pakai (barang jadi). Agar siswa dapat menerapkan matematika secara ber-makna, maka penerapannya harus dipelajari melalui re-invention (penemuan kembali) atau re-construction (konstruksi kembali). Dalam falsafah realistik, dunia nyata digunakan titik pangkal permulaan dalam pengembangan konsep-konsep dan gagasan matematika. Dunia nyata ini tidak berarti konkret secara fisik dan kasat mata, namun juga ter-masuk yang dapat dibayangkan oleh pikiran anak. Jadi, dunia nyata ini mengandung arti sejauh masih kontekstual dengan yang ada pada pikiran anak. Ciri-ciri contextual learning adalah: (1) menggunakan konteks yang nyata sebagai titik awal belajar, (2) menggunakan model sebagai jembatan antara real dan abstrak, (3) belajar dalam suasana demokratis dan interaktif, dan (4) menghargai jawaban informal siswa sebelum mereka mencapai bentuk formal matematika.
Dalam kerangka Realistic Mathematics Eduction, Freudental (1991) menyatakan bahwa ‘Mathematics is human activity’ karenanya matematika disarankan berangkat dari aktivitas manusia. Belajar matematika adalah sebagai proses di mana matematika ditemukan dan dibangun oleh manusia, sehingga di dalam pembelajaran matematika harus lebih dibangun oleh siswa dari pada ditanamkan oleh guru. Dengan mengamati benda nyata atau benda yang dapat dibayangkan siswa, mereka akan mampu merangkum menjadi suatu awal konsep matematika (horizontal matematizing), sebelum mereka sampai pada konsep matematika sesungguhnya yang bersifat abstrak (vertical matematizing).
Secara spesifik Vygotsky menekankan bahwa belajar terjadi melalui interaksi social. Ia yakin bahwa tingkat kinerja pemecahan masalah baru dapat dicapai apabila siswa bekerja dalam kelompok-kelompok koope­ ratif khususnya kelompok-kelompok heterogen (Jones & Thornton, 1993). Menurut Marpaung (2001:6) pembelajaran matematika di SD yang cocok adalah dengan pendekatan kontekstual yang realistik. Pem-belajaran dimulai dengan masalah-masalah kontekstual yang berkaitan dengan kehidupan yang oleh siswa dianggap realistik. Aspek aplikasi dari matematika lebih ditonjolkan dari pada aspek teoritiknya yang abstrak. Pembelajaran matematika yang di dalamnya termasuk geome-tri bangun datar, akan lebih didukung oleh masyarakat, sebab akan mampu mengembangkan kemampuan siswa yang dibutuhkan dalam masyarakat seperti toleransi, budaya demokrasi, berpikir strategis, dan kemampuan menerima serta mengargai perbedaan (Marpaung, 2001:5). Dengan pendekatan realistik dalam pembelajaran pemahaman rumus geometri, siswa akan mudah memaknai dan mencerna konsep-konsep................Baca makalah dari sumber aslinya di sini.

Laporan Penelitian Pengembangan: CTL (Contextual Teaching and Learning)

Catatan: Makalah ini dipublikasikan di blog ini dengan tujuan untuk meningkatkan kemudahan para pendidik untuk memperolehnya dengan lebih banyak terindeks pada search engine. Makalah ini sepenuhnya bukan milik saya. Bila Anda pemilik makalah ini dan merasa bahwa tidak semestinya makalah ini diterbitkan di http://penelitiantindakankelas.blogspot.com, silakan menghubungi saya di sini, maka dengan senang hati saya akan menghapus konten ini. Terimakasih (admin).


CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) DALAM PEMBELAJARAN SAINS-FISIKA SMP

Oleh: Wasis

FMIPA Universitas Negeri Surabaya

Abstract

Any educational process implied by contextual teaching and learn-ing (CTL) aims at helping students’ comprehension of the academic materials they are studying by connecting academic subjects with the contexts of their daily life. The present article is based on a research which developed a set of instructional materials to help teachers and their students achieve that aim.
The instructional materials developed were adapted from a model submitted by Thiaragajan et al., which includes the steps of defining, designing, and developing. Assessment of the materials was done through experts’ judgment on and teachers’ and students’ responses to the materials. The final revised set of the materials were tried out at a state junior high school, SMPN 23, in Surabaya. During the try-out, teachers’ and students’ activities were observed and quantitatively and qualitatively analyzed.
The results of the research show that the instructional materials (1) have the characteristics of (a) connecting the subject matter with daily life, (b) having been developed with attention paid to students’ learning styles, (c) developing higher-order thinking, (d) reflecting interest in students’ prior knowledge, (e) supporting the shaping of democratic and interactive learning situations, (f) providing teachers with more ease in their work, and (g) making more students like studying physics and (2) can help students achieve mastery learning.

Key words: CTL, instructional materials for CTL

Pendahuluan
Hasil pembelajaran dalam dunia pendidikan di Indonesia, disinya­ lir oleh para pakar pendidikan masih belum menggembirakan. Menurut Sumarna (2004) kebanyakan peserta didik mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan pengetahuan dalam kehidupan nyata (real world). Zamroni (2000) menyatakan, hal di atas disebabkan adanya kecenderungan pembelajaran di kelas yang tidak berusaha mengaitkan konten  pelajaran  dengan  kehidupan  sehari-hari.  Pernyataan  senada disampaikan  Conny  Semiawan  (2000)  bahwa  pembelajaran  lebih banyak memaparkan fakta, pengetahuan, dan hukum, kemudian biasa dihafalkan, bukan mengaitkannya dengan pengalaman empiris dalam
kehidupan nyata.
Data kuantitatif dapat dilihat dari hasil studi TIMSS (The Third International Mathematics and Science Study) dan PISA (Programe for International StudentAssessment). Framework kegiatanTIMSS meliputi: content, performance expectation, dan perspectives, dan literasi sains dalam studi PISA mencakup kemampuan menggunakan pengetahuan, mengidentifikasi masalah dalam kehidupan dalam rangka memahami fakta-fakta dan membuat keputusan tentang alam dan perubahan yang terjadi pada kehidupan. TIMSS (1999) melaporkan bahwa di antara 38 negara peserta, Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk bidang sains dan urutan ke-34 untuk bidang matematika. Untuk bidang sains, Indonesia sedikit lebih baik dibandingTurki,Tunisia, Chili, Philipina, dan Maroko, tetapi jauh di bawah Singapura yang menempati urutan kedua. Menurut hasil studi PISA, di antara 41 negara peserta, Indonesia berada pada pe­ ringkat ke-39 untuk literasi membaca dan matematika, dan peringkat ke-38 untuk literasi sains. Untuk literasi sains, nilai rata-rata siswa Indonesia adalah 393, jauh di bawah Jepang, 550 dan Korea, 525 (Hayat, 2003). Dengan nilai 393 tersebut, berarti siswa kita rata-rata hanya mampu meng-ingat fakta, terminologi dan hukum-hukum sains, tetapi menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki untuk mengevalusi, menganalisis, dan memecahkan permasalahan kehidupan masih amat kurang.Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam Pembelajaran Sains-Fisika SMP
Keprihatinan para pakar pendidikan yang didukung dua hasil studi internasional di atas, sudah seharusnya dijadikan pijakan untuk mereori-entasi proses pembelajaran. Pandangan dan perilaku yang menempatkan pembelajaran sebagai content transmission model harus sudah ditinggal-kan. Paradigma pembelajaran harus menekankan pada learning, bersifat student centered, harus bergeser dari “guru dan apa yang akan diajarkan” ke arah “siswa dan apa yang akan dilakukan”. Pembelajaran harus men-ciptakan meaningful connections dengan kehidupan nyata. Pembelajaran harus memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk beraktivitas, baik hands-on activities maupun minds-on activities.
Salah satu pendekatan pembelajaran yang dibangun dengan prin-sip-prinsip di atas, dan concern terhadap upaya-upaya implementasi dalam kehidupan nyata adalah pendekatan pembelajaran kontekstual

(contextual teaching and learning [CTL]). Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang berusaha mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa menghubungkan pengetahuan yang dimiliki dengan kehidupan mereka sehari-hari (Blancard, 2001 dan Johnson, 2002). Untuk mewujudkan pembelajaran yang memiliki karakteristik seperti di atas, proses pembelajaran harus menekankan pada: making meaningful connection, constructivism, inquiry, critical and creative thinking, learning community, dan using authentic assessment.
Menurut University of Washington, beberapa strategi pembelajaran berikut ini menempatkan siswa dalam konteks sesuai CTL. Pembela-jaran autentik, yakni pembelajaran yang memungkinkan siswa belajar dalam konteks sebenarnya, yaitu kehidupannya sehari-hari (daily lives). Pembelajaran berbasis inkuiri, yakni strategi pembelajaran yang berpola pada metode ilmiah, observasi dilakukan, masalah ditemukan, dirumuskan hipotesis, kemudian hipotesis diuji dengan eksperimen, sehingga diperoleh kesimpulan. Pembelajaran berbasis masalah, yakni pembelajaran yang menggunakan masalah-masalah dunia nyata (real-world) sebagai konteks bagi siswa untuk berpikir kritis dan melatih eterampilan problem solving. Pembelajaran berbasis kerja, yakni pembelajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari konten mata pelajaran (subject matter) dan bagaimana sebaliknya, menggunakan konten di tempat kerja (Nur, 2001: 4). Dalam pembelajaran kontekstual kondisi yang mengaktifkan siswa dapat ditemukan oleh siswa sendiri dari kehidupannya sehari-hari atau diciptakan oleh guru sehingga membantu menjadikan materi pelajaran bermakna dan memotivasi siswa (Nur, 2001).
Pertanyaannya sekarang, bagaimanakah agar CTL dapat diterapkan secara optimal? Menurut Hammes (Suryanti, 2002: 24), salah satu penyebab ketakberhasilan implementasi suatu pendekatan pembelajar­ an adalah keterbatasan buku serta perangkat pembelajaran lain yang memberikan kemudahan bagi guru untuk menerapkan pendekatan tersebut.
Berdasar uraian di atas, penelitian ini dilakukan untuk menjawab dua pertanyaan pokok: (1) bagaimanakah mengembangkan perangkat pembelajaran Sains yang dapat memberikan kemudahan bagi guru dalam menerapkan pembelajaran kontekstual?, dan (2) apakah imple-mentasi pembelajaran kontekstual dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan secara nyata membantu siswa mencapai ketuntasan belajar?

Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua tahap, tahap pertama: pengembangan perangkat pembelajaran kontekstual, dan tahap kedua: implementasi pembelajaran kontekstual menggunakan perangkat yang telah dikem-bangkan.

Pengembangan perangkat pembelajaran dalam penelitian ini meng­ adaptasi model pengembangan yang diajukan oleh Thiaragajan, Sem-mel, & Semmel (1974) meliputi define, design,dan develop, seperti......................Baca makalah ini dari sumber aslinya.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...