Monday, October 29, 2012

Belajar Penerimaan (Reception Learning)

Belajar Penerimaan (Reception Learning)

Pandangan David  Ausubel (1963, 1977) tentang belajar menawarkan sebuah perbedaan kontras dengan apa yang ditawarkan oleh Jerome Brunner. Menurut Ausubel, seseorang memperoleh pengetahuan lebih uatama melalui resepsi (penerimaan: reception) daripada melalui penemuan (discovery). Konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan gagasan-gagasan dipresentasikan dan dipahami, tidak ditemukan. Semakin presentasi terorganisasi dan terfokus, semakin mendalam seseorang akan belajar.

Ausubel menekankan apa yang disebut sebagai meaningful verbal learning (belajar verbal bermakna)—informasi verbal, gagasan-gagasan, dan hubungan-hubungan antar gagasan diperoleh secara bersama-sama. Mengingat hafalan tidak dianggap sebagai belajar bermakna, karena bahan-bahan yang dipelajari dengan cara menghafal tidak membentuk hubungan dengan pengetahuan yang telah ada atau yang telah dimiliki.

Ausubel telah mengusulkan model pembelejaran ekspositori untuk memberdayakan kebermaknaan belajar daripada belajar penerimaan dengan menghafal. (Di sini eksposisi / paparan berarti penjelasan). Pada pendekatan ekspositori, guru mempresentasikan bahan-bahan dengan diorganisasi secara hati-hati, diurutkan, dan dalam bentuk jadi, sehingga siswa dapat belajar secara efisien. Ausubel juga sependapat dengan Bruner dalam hal bahwa orang belajar dengan mengorganisasikan informasi menjadi hirarki dan sistem koding. Ausubel menyebut  konsep umum yang terdapat pada puncak sistem sebagai subsumer, karena semua konsep adalah bagian yang terdapat di bawahnya. Tetapi  Ausubel meyakini bahwa belajar harusnya dilakukan secara deduktif, bukan secara induktif sebagaimana yang diyakini oleh Bruner. Ausubel merekomendasikan untuk mengajar aturan atau prinsip atau konsep terlebih dahulu, baru kemudian contoh-contohnya, dari yang general ke yang spesifik, dari yang umum ke yang khusus.

Pembelajaran yang mengacu pada pendapat Ausubel selalu dimulai dengan sebuah advance organizer. Belajar secara optimal akan terjadi bila ada potensial kecocokan antara skema kognirif siswa dengan bahan-bahan yang akan dipelajari. Advance organizer akan menjadi sebuah pernyataan pembuka tentang hubungan konsep utama (level atas) dengan informasi-informasi lain yang akan mengikuti. Fungsi advance organizer adalah untuk menyediakan perancah (scaffolding) atau suport terhadap informasi baru. Advance organizer juga dapat dipandang sebagai jembatan antara bahan-bahan pembelajaran baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa (Faw & Waller, 1976).

Cara Menerapkan Teori Bruner dalam Model Pembelajaran

Telah disebutkan di tulisan tentang  Efektivitas Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) di blog penelitian tindakan kelas dan model-model pembelajaran ini, bahwa pembelajaran dengan pendekatan yang dikembangkan oleh Jerome Bruner tersebut agak sulit diterapkan. Akan tetapi, ada baiknya guru tidak berkecil hati dan mau mencoba model pembelajaran ini.

Tips Menerapkan Teori Brunner dalam Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)

Berikut beberapa tips yang dapat dilakukan oleh guru yang mungkin ingin mencoba discovery learning di kelasnya.

Presentasikan contoh dan noncontoh dari konsep-konsep yang sedang anda ajarkan

Misalnya:
  • Saat mengajar tentang mammalia, masukkan manusia, kangguru, paus, kucing, lumba-lumba, dan unta sebagai contoh. Kemudian masukkan ayam, ikan, buaya, katak, dan pinguin sebagai noncontoh.
  • Minta siswa untuk menambahkan contoh-contoh dan noncontoh-noncontoh lain.

Bantu siswa membuat hubungan antar konsep-konsep

Misalnya:
  • Ajukan pertanyaan misalnya seperti ini: Apalagi yang dapat kamu sebut terhadap apel ini? (Buah). Apa yang dapat kita lakukan terhadap buah? (Makan). Kita sebut apa sesuatu yang dimakan? (Makanan).
  • Gunakan diagram, outline, ringkasan, dsb, untuk menunjukkan hubungan antar konsep-konsep.

Ajukan sebuah pertanyaan dan biarkan siswa mencoba untuk mencari jawabannya.

Misalnya:
  • Apa hubungan antara luas sebuah ubin dengan luas seluruh lantai ruangan?
  • Bagaimana proses pembentukan daun?

Picu siswa untuk membuat tebakan intuitif

Misalnya:
  • Daripada memberikan sebuah definisi suatu kata, lebih baik katakan begini: Coba tebak apa arti kata ini dengan memperhatikan kata-kata lain yang ada di sekelilingnya?
  • Berikan siswa sebuah peta Romawi kuno dan minta mereka berpikir di mana kira-kira letak kota utama berada.
  • Jangan berkomentar setelah beberapa (sedikit) tebakan intuitif dilontarkan siswa. Tunggu beberapa saat sebelum memberikan jawabannya.
  • Gunakan pertanyaan yang dapat membimbing untuk memfokuskan siswa saat “penemuan” mereka semakin membawa mereka “menjauh” dari tujuan pembelajaran yang diharapkan.

Efektivitas Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)

Efektifkah Model Pembelajaran Penemuan itu?

Apakah model pembelajaran penemuan (discovery learning) efektif  untuk diterapkan oleh para guru? Berikut adalah ulasan yang ditulis oleh Corno & Snow, 1986; Slavin, Karweit & Madden, 1989) tentang efektivtas discovery learning.

Umumnya para ahli psikologi dan pendidik sepakat bahwa siswa harus memahami informasi saat mempelajari sesuatu dan mengingatnya. Jika siswa hanya sekedar mengingat (menghafal) daftar-daftar dan fakta-fakta saja, maka akan terbentuk pemahaman superfisial dan dengan mudah akan dilupakan. Bila siswa bergulat dengan masalah-masalah nyata, menguji solusi-solusi yang mungkin, dan akhirnya  menemukan sendiri struktur fundamental suatu konsep kunci, mereka sepertinya akan lebih memahami dan mengingat informasi tersebut dengan baik. Akan tetapi, kritik-kritik terhadap model pembelajaran penemuan (discovery learning) telah membawa kita pada sebuah pertanyaan penting: Apakah discoveri learning (pembelajaran penemuan) itu efektif dilaksanakan?

Discovery Learning Sesuai dengan Teori Perkembangan Kognitif

Para pendidik yang menyukai discovery learning mencatat bahwa pendekatan/model/ metode ini konsisten dengan cara-cara seseorang belajar dan berkembang. Misalnya, Jerome Brunner (1966, 1971) mengidentifikasi 3 tahap perkembangan kognitif, mirip dengan 3 tahap yang diidentifikasi oleh Piaget. Brunner yakin bahwa anak-anak berkembang dari tahap enaktif (enactive stage) ke tahap ikonic (iconic stage) dan berikutnya berkembang ke tahap simbolik (symbolic stage). Pada tahap enaktif (mirip dengan tahap sensori motor Piaget), anak-anak merepresentasikan dan memahami dunia melalui aksi—untuk memahami sesuatu mereka harus memanipulasinya, mencicipinya, melemparnya, menghancurkannya, dan sebagainya. Pada tahap ik onik, anak-anak merepresentasikan dunia dengan gambar-gambar—penampakan lebih dominan. Tahap ini berkoresponden dengan tahap berpikir praoperasional Piaget, di mana dicontohnya makin tinggi ketinggian air di dalam gelas, berarti bahwa ada lebih banyak air di dalam gelas itu, karena hal tersebut kelihatannya-penampakannya benar begitu. Hal ini terjadi tanpa mereka mempertimbangkan diameter gelas yang bisa saja berbeda dan air yang tampak tinggi belum tentu lebih banyak jumlahnya dibanding air yang terdapat di gelas lain. Pada tahap akhir, anak-anak mulai dapat menggunakan ide-ide abstrak, simbol, bahasa, dan logika untuk memahami dan merepresentasikan dunia. Aksi-aksi dan gambar-gambar masih dapat digunakan dalam berpikir, tetapi tidak lagi bersifat dominan.

Discovery learning (pembelajaran penemuan) memungkinkan siswa untuk bergerak pada ketiga tahapan tersebut di atas saat mereka berhadapan dengan informasi-informasi baru. Pertama-tama siswa akan memanipulasi dan berbuat sesuatu terhadap bahan-bahan; kemudian mereka akan membentuk gambar-gambar saat mereka mencatat ciri-ciri khusus dan melakukan observasi. Karena siswa mengalami ketiga tahap tersebut di atas, Brunner yakin siswa akan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang suatu topik. Saat siswa termotivasi dan benar-benar berpartisipasi di dalam proyek penemuan (discovery project), pembelajaran penemuan atau discovery learning akan membawa pada proses belajar yang sangat baik (Strike, 1975).

Discovery Learning Tak Dapat Dipraktikkan?

Pada teorinya, discovery learning kelihatan sangat ideal, tapi pada praktiknya terdapat permasalahan-permasalahan. Agar sukses, proyek penemuan (discovery project) seringkali membutuhkan bahan-bahan khusus dan persiapan yang ekstensif (luas), dan persiapan ini tidak dapat menjamin akan adanya kesuksesan. Misalnya, suatu pembelajaran penemuan tentang efek cahaya terhadap tumbuhan memerlukan waktu berjam-jam dan seringkali gagal karena tumbuhan yang ditanam di tempat gelap dan di temapt terang tidak tumbuh sebagaimana yang diharapkan—ada sangat banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman selain cahaya (Anderson and Smith, 1987).

Agar pada situasi pembelajaran penemuan didapatkan benefit, siswa harus mempunyai pengetahuan dasar tentang masalah yang akan dipelajari dan tahu bagaimana mengaplikasikan strategi-strategi pemecahan masalah. Tanpa pengetahuan dan keterampilan-keterampilan ini, mereka akan menyerah dan frustasi. Bukannya memperoleh pelajaran dari bahan-bahan tersebut, mereka justru akan bermain-main dengannya. Sedikit siswa yang brilian mungkin akan memperoleh “penemuan-penemuan”, sementara kebanyakan yang lainnya akan kehilangan minat dan menunggu secara pasif terhadap orang lain yang mungkin akan menyelesaikan proyek penemuan itu. Alih-alih memperoleh keuntungan dari penjelasan guru yang terorganisasi dengan baik, justru siswa-siswa yang tak berhasil memperoleh “penemuan” ini akan mendapatkan penjelasan yang keliru dari dari siswa-siswa yang tak dapat mengkomunikasikan apa yang telah mereka “temukan” dengan bahasa yang tepat.

Para kritikus pembelajaran penemuan (discovery learning) yakin bahwa pembelajaran penemuan tidak efektif dan terlalu sulit untuk diorganisasikan. Pendapat ini tentunya akan sangat tepat bila guru berhadapan dengan siswa-siswa dengan kemampuan rendah. Discovery learning mungkin tidak tepat untuk mereka karena meminta terlalu banyak, sementara siswa-siswa tidak atau kurang memiliki latar belakang pengetahuan yang cukup dan keterampilan-keterampilan pemecahan masalah yang diperlukan untuk menjamin kesuksesan pelaksanaan discovery learning. Banyak hasil penelitian justru menunjukkan bahwa model pembelajaran penemuan (discovery learning) tidak efektif dan bahkan melemahkan pada anak-anak berkemampuan rendah.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...